BANTENKESEHATANPOLITIKSOSIALUncategorized

BPS Menyebut Indonesia Mengalami Kemajuan Yang Cukup Baik Dalam Pencegahan Gizi Kurang

kabarklik.com – Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut Indonesia mengalami kemajuan yang cukup baik dalam pencegahan gizi kurang (buruk). Tahun 2018, angka prevalensi gizi kurang sebesar 7,9 %, naik dari angka prevalensi gizi kurang di tahun 2011 sebesar 16,5 %. Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2019 mencatat 6,3 juta balita dari 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting – tingkat prevalensinya mencapai 27,7 % dan turun menjadi 24,4 % tahun 2021. Bahkan data Asian Development Bank/ADB (2020) prevalensi anak penderita stunting usia dibawah 5 tahun sebesar 31,8 %. Angka tersebut menjadikan Indonesia tertinggi kedua di Asean setelah Timor Leste sebesar 48,8 %. Jelas angka-angka ini masih tergolong tinggi dibandingkan standar WHO dibawah 20 %. Artinya, satu dari tiga balita mengalami perawakan pendek akibat malnutrisi kronis.

Permasalahan stunting, bukan saja kualitas gizi masyarakat menengah kebawah yang harus diperhatikan dan tidak selalu berkaitan dengan program perlindungan sosial pemerintah. Kadangkala kualitas gizi yang buruk juga disebabkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran pada makanan bergizi, dan pola makan yang buruk. Contoh, ditemukan 95,5 % masyarakat Indonesia kurang mengkonsumsi sayur dan buah (Riset Kesehatan Dasar 2018). Kurangnya nutrisi dalam jangka panjang membuat seseorang menjadi stunting.

Hasil Penelitian SMERU, selain stunting, Indonesia juga menghadapi tiga beban malnutrisi yaitu: kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan zat gizi mikro (mikronutrien). Oleh karena itu, pihak terkait terutama Pemerintah perlu memperluas fokus kebijakannya agar tidak hanya terfokus pada stunting. Persoalan wasting (kondisi kurus), obesitas, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro juga perlu mendapatkan perhatian.

Hasil Studi Satus Gizi Balita Indonesia (SSGI) 2021 terdapat 5 provinsi dengan kategori kronik dengan angka stunted (pendek menurut usia) rendah dan wasted (kurus menurut tinggi badan) tinggi yaitu Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Sedangkan kategori akut dengan angka stunted tinggi dan wasted rendah adalah Bengkulu. Singkatnya evaluasi harus tetap dilakukan apalagi angka stunted yang dikaitkan dengan angka wasted sesuai standar WHO, maka satu-satunya provinsi berkategori baik dengan angka stunted rendah adalah Bali (<= 20 %) yakni 10.9 % dan wasted rendah (<= 5 %) yakni 3 %.

Masih tingginya stunting disebapkan oleh: Pertama, praktek pengasuhan yang tidak baik–kurangnya pengetahuan tentang kesehaatn dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan, termasuk layanan ANC-Ante Natal Care, postnatal, dan pembelajaran dini yang berkualitas. Ketiga, kurangnya akses ke makanan bergizi terutama karena tidak terjangkau (harga). Keempat, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Dampak Stunting

Stunting akan berdampak pada gangguan pertumbuhan (berat lahir rendah, kecil, pendek, dan kurus), hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan gangguan metabolik pada saat dewasa berupa risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, stroke, dan penyakit jantung.

Merujuk publikasi World Bank (2020) yaitu Human Capital Index (HCI) untuk mengukur kualitas produktivitas optimum penduduk di masa depan, antara lain sangat ditentukan perkembangan anak hingga usia lima tahun. Nilai HCI Indonesia tahun 2020 adalah 0,54. Angka ini menggambarkan bahwa bayi usia lima tahun (balita) di Indonesia hanya akan mencapai 54 % dari potensi maksimalnya di masa dewasa. Jika permasalahan ini dapat diatasi maka generasi ke depan akan lebih menjadi produktif, berdaya saing, dan cita-cita untuk meraih bonus demografi dapat tercapai. Namun begitupula sebaliknya.

Masih dari laporan World Bank (2020), Indonesia berada di urutan ke 115 dari 151 negara. Tingginya angka stunting di Indonesia antara lain disebapkan kurangnya asupan gizi kronis, rendahnya akses air-sinitasi penduduk yang berkualitas, rendahnya pendidikan orang tua, pola asuh yang salah, dan kurangnya tenaga kesehatan terutama ahli gizi dalam pemantauan perkembangan balita.

Jika ini berlarut-larut, maka upaya mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif, serta pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan sulit tercapai. Lebih jauh, daya saing sumberdaya manusia Indonesia akan tertinggal. Berdasarkan data Global Competitiveness tahun 2019 di World Economic Forum peringkat daya saing Indonesia berada pada tingkat 50 dari 141 negara, masih di bawah Malaysia Thailand dan Singapura di peringkat pertama.

Strategi Kebijakan

Percepatan penurunan stunting harus dilaksanakan secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi diantara kementerian/lembaga, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), pemerintah desa, dan pemangku kepentingan.

Perpres Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting pasal 2 ayat (2) menyebut strategi percepatan penurunan stunting bertujuan untuk menurunkan prevalensi stunting, meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, menjamin pemenuhan asupan gizi, memperbaiki pola asuh, meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, dan meningkatkan akses air minum dan sanitasi. Perpres tersebut juga mengamanatkan pentingnya peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat untuk mencapai target penurunan prevalensi stunting 14 % pada 2024. Lantas strategi kebijakan seperti apa yang dibutuhkan?

Pasal 6 ayat (2) Perpres 72/2021 menyebutkan 5 pilar strategi nasional percepatan penurunan stunting yaitu: peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan pemerintah desa; peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan pemerintah desa; peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat; dan penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.

Ketahanan pangan sebagai pilar keempat yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan harus terus dikuatkan untuk bisa berkontribusi pada penurunan stunting. Salah satunya dengan membangun komitmen bersama dan meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dalam pelaksanaan konvergensi percepatan penurunan stunting.

Pilar-pilar tersebut, baik program maupun kegiatan percepatan penurunan stunting perlu dilakukan penguatan perencanaan dan penganggaran; peningkatan kualitas pelaksanaan; peningkatan kualitas pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Khusus desa, pemerintag desa sebaiknya memanfaatkan dana desa untuk percepatan penuruna stunting, jangan lagi terjebak pada proyek fisik. Ini sejalan dengan amanat pasal 11 ayat (2) Perpes No 72/2021 bahwa pemerintah desa harus memprioritaskan penggunaan dana desa untuk mendukung penyelenggaraan percepatan penurunan stunting. Salah satu bentuk intervensi stunting yang dapat dilakukan adalah pemberian makanan bergizi seimbang bagi keluarga resiko stunting dengan optimalisasi bahan pangan lokal.

Berbagai kegiatan pemberdayaan warga desa untuk pemenuhan gizi seimbang bagi keluarga berisiko stunting melalui pemanfaatan sumberdaya lokal (termasuk bahan pangan lokal) yang dapat dipadukan dengan sumberdaya/kontribusi dari mitra lainnya. Disini perlu dorongan dan pengawasan dari pemerintah daerah kabupaten/kota agar pemerintah desa benar-benar menjalankan program pemenuhan gizi seimbang.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Ads Blocker Image Powered by Code Help Pro

Ads Blocker Detected!!!

We have detected that you are using extensions to block ads. Please support us by disabling these ads blocker.

Powered By
100% Free SEO Tools - Tool Kits PRO