Indonesia Tegaskan Netralitas Pertahanan, Fokus pada Kerja Sama Ekonomi

KabarKlik.com – Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk tetap netral dalam blok pertahanan manapun. Hal ini disampaikan dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/12/2024). Sebaliknya, Indonesia akan fokus pada kerja sama ekonomi yang menguntungkan negara.
KabarKlik.com mendapatkan informasi dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang menyatakan bahwa Presiden Prabowo menekankan pentingnya mengedepankan kepentingan nasional. “Pak Prabowo juga menyampaikan kita sebagai negara yang memperjuangkan national interest kita, kita tidak akan bergabung dengan blok pertahanan mana pun,” ujar Hasan. “Tapi kita akan join dengan berbagai blok ekonomi yang menguntungkan kepentingan bangsa,” tambahnya.
Sebagai wujud komitmen tersebut, Indonesia sedang dalam proses keanggotaan BRICS dan OECD. Selain itu, Indonesia juga aktif berpartisipasi dalam Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP). “Selain daftar BRICS kita juga sedang daftar bergabung ke OECD. Kita juga berpartisipasi dalam CPTPP,” jelas Hasan.
Keinginan Indonesia bergabung dengan BRICS sebelumnya disampaikan Menteri Luar Negeri Sugiono dalam KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia. Sugiono menegaskan bahwa bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan bagian dari politik luar negeri bebas aktif dan bukan berarti Indonesia berpihak pada kubu tertentu. Hal senada juga disampaikan oleh Presiden Prabowo, yang menekankan fokus pada keuntungan ekonomi bagi bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, pengamat internasional mengingatkan bahwa BRICS seringkali dianggap sebagai “kubu perlawanan” terhadap sistem yang dibangun negara-negara Barat. BRICS, yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, bertujuan memperkuat suara negara berkembang di tengah dominasi negara maju. Bahkan, Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sempat mengancam akan mengenakan tarif 100 persen pada negara-negara anggota BRICS menyusul rencana pembentukan mata uang baru atau dukungan terhadap mata uang alternatif yang dianggap berpotensi melemahkan nilai dolar AS.