
KabarKlik.com – Dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Banten, sejumlah pihak mengungkapkan pandangan mereka terkait ancaman radikalisme dan cara pencegahannya. Kegiatan ini menghadirkan berbagai narasumber, termasuk eks narapidana teroris (napiter), guru, dan tokoh pesantren.
Ketua FKPT Provinsi Banten, KH. Amas Tajuddin, mengungkapkan bahwa radikalisme masih menjadi ancaman serius di wilayah Banten. Berdasarkan penelitian FKPT, Banten menduduki peringkat kedua dalam tingkat radikalisme setelah Aceh. Bahkan, Kota Serang menjadi salah satu penyumbang terbesar sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam gerakan radikal.
“Di sini hadir eks napiter yang akrab saya panggil Abuya Anwar. Beliau adalah mantan teroris yang pernah terlibat dalam peperangan di Suriah, Filipina, dan Malaysia. Hari ini, Anwar akan berbagi pengalaman bagaimana ia bisa terlibat dalam jaringan terorisme, aktivitasnya selama menjadi bagian dari kelompok tersebut, hingga faktor yang membuatnya kembali ke pangkuan NKRI,” ujar KH. Amas.
Anwar, mantan napiter, menceritakan perjalanan hidupnya yang membawa ia terjerumus dalam ideologi radikal. “Saya awalnya hanya seorang karyawan engineering yang menghabiskan banyak waktu di depan komputer. Tahun 2013, salah satu komentar saya di media sosial mendapat tanggapan dari seseorang di Malaysia. Dia menjelaskan tentang perang di Suriah. Ketidakpuasan saya terhadap sistem pemerintahan Indonesia juga menjadi salah satu alasan saya terlibat dalam radikalisme,” katanya.
Anwar juga mengisahkan pengalaman mendalamnya selama bergabung dengan ISIS, termasuk bertemu dengan para tahfiz Al-Qur’an yang membuatnya semakin termotivasi. Namun, titik balik terjadi saat ia menjalani hukuman di Malaysia. “Selama di penjara, saya mulai membaca buku-buku yang membuka pikiran saya tentang kesalahan saya selama ini. Dari sana, saya memutuskan untuk kembali ke NKRI,” tambahnya.
Rina Nurasyiah, M.Pd., dari Ikatan Guru Raudhatul Athfal, menyoroti pentingnya pendidikan dini dalam mencegah radikalisme. “Sebagai pendidik, kami tidak hanya mengajarkan anak-anak membaca dan menulis, tetapi juga mengenalkan bahaya radikalisme, bullying, dan kekerasan. Guru memiliki peran penting dalam membangun kesadaran siswa tentang ancaman radikalisme,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa radikalisme tidak hanya menjadi ancaman terhadap negara, tetapi juga terhadap lingkungan sosial, termasuk di sekolah. “Ada sekelompok orang yang tidak menyukai peraturan berbasis Pancasila, sehingga memunculkan tindakan ekstrem yang membahayakan negara,” tambah Rina.
Sementara itu, Kiyai Ade Bhujaermi, pimpinan Pondok Pesantren Al-Kanza di Lebak, berbagi kekhawatirannya terhadap paparan radikalisme di kalangan santri. “Pengalaman eks napiter seperti Abuya Anwar sangat penting sebagai peringatan dini. Di pesantren kami, penggunaan handphone oleh santri dilarang karena bahayanya, baik melalui media sosial maupun game online. Kami juga mengingatkan agar tidak sembarangan mengikuti pengajian yang belum jelas kajiannya karena banyak yang menyelipkan ajaran radikal,” ujarnya.
Kegiatan ini diakhiri dengan ajakan kepada seluruh elemen masyarakat untuk lebih waspada terhadap ancaman radikalisme dan terus menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara.